Baca di UU No. 5 tahun 1990
Revisi UU No.5 tahun 1990 akan dibahas awal bulan tahun 2012
Istilah-istilah konservasi, pelestarian, pengawetan, dan perlindungan tidak mudah dibedakan dan dipahami oleh masyarakat umum atau kadang dianggap tidak penting. Ketidak-jelasan pendefinisian konservasi tersebut boleh jadi karena:
Adanya tumpang tindih dan ketidak jelasan pengertian dari istilah-istilah yang digunakan untuk menamakan kategori maupun tujuan dari kategori. Misalnya, dari sudut bahasa dan ekologi, apa sebenarnya arti yang tepat dari “konservasi”, “pelestarian”, “pengawetan”, “perlindungan”, “cagar”, dan “suaka”? Dalam ketentuan peraturan-peraturan yang ada, khususnya menurut ketentuan Pasal 1, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 disebutkan bahwa “Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaanya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya”. Definisi tersebut tidak menjelaskan bagaimana sifat atau cara pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati, tetapi menjelaskan pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati. Pemanfaatan hanyalah sebagian kecil dari pengelolaan. Jadi definisi tersebut juga tidak memberikan penjelasan tentang istilah konservasi.
Permasalahan timbul akibat konservasi.
Pada tingkat yang lebih rendah, yaitu implementasi, konflik antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat juga bisa muncul. Konflik yang paling menonjol terkait dengan masalah hak masyarakat untuk mengakses kawasan konservasi. Berdasarkan studi kasus diberbagai kawasan lindung, konflik pada umumnya berkaitan dengan: (a) kurangnya perhatian terhadap proses pelibatan komunitas lokal dan pihak lainnya yang berkepentingan di dalam perencanaan, pengelolaan dan pembuatan keputusan yang terkait dengan kebijakan kawasan lindung; dan (b) kebutuhan komunitas lokal sekitar kawasan lindung (seperti padang gembalaan, kayu bakar, bahan bangunan, makanan ternak, tumbuhan obat, berburu) yang berkonflik dengan tujuan pengelolaan kawasan lindung (Lewis, 1996 dalam Suporahardjo, 2003).
Salah satu konflik yang timbul dari tata kelola konservasi adalah ketidaksamaan persepsi akan konservasi itu sendiri. Pendefinisian konservasi selama ini menunjukkan ketidakkonsistenan. Terjadi perbedaan penafsiran definisi yang terdapat pada berbagai peraturan, serta kurang jelasnya definisi tersebut.
Baca artikel berikut :
Community-based conservation initiatives (CBCIs) are bottom-up (or grass-root) activities that bring individuals and organizations together to work towards achieving desired environmental goals. These initiatives are fueled by a community force that is exerting pressure on government agencies in many parts of the world (Forgie, Horsley, Johnston, 2001)
Dari satu stakeholder menjadi multi-stakeholder (Dari government-based management menjadi multi-stakeholder based management/collaborative management) ini dilakukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 Tahun 2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA. Di waktu yang lalu, kewenangan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi dipegang dan dilakukan satu stakeholder, yaitu oleh pemerintah pusat cq. Direktorat Jenderal PHKA, Departemen Kehutanan. Kini, meski kewenangan pengelolaan Kawasan konservasi tersebut masih dipegang oleh pemerintah (pusat), namun pelaksanaan pengelolaannya sudah waktunya untuk dilakukan bersama dengan para pihak (stakeholders) yang lain, termasuk pemerintah kabupaten, kota dan propinsi; masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, pihak swasta dan pihak-pihak lain yang memiliki kepedulian serta komitmen terhadap keberadaan kawasan konservasi
Cara Pandang dan Arti Konservasi bagi Anak dan Organisasi Pecinta Alam ... (bersambung)
Sumber: konservasi indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan
0 komentar:
Posting Komentar