Dibalik Keindahan P. Serangan Bali


Pulau serangan sebuah pulau indah di pantai selatan Sanur. Pulau dengan luas 73 hektare ini sejauh 250 meter dari pantai sebelah tenggara pulau bali, pulau ini dihuni oleh sekitar 3.848 jiwa. Asal nama “Serangan” diyakini oleh penduduk setempat berasal dari kata “sira angen” yang berarti kasih sayang atau rasa kangen, yang dibawa oleh pelaut bugis yang mendarat untuk minum di pulau ini dan merasa “sira angen”, pelaut itupun menetap dan beranak pinak di pulau ini, selain keindahan pulaunya, pasirnya yang kuning juga menjadikan pulau ini dijuluki pulau emas, karena keindahan pantainya yang kuning keemasan.
Awal tahun 70-an ada industri pariwisata di Pulau Serangan, namun pada awal tahun 90-an, kelompok investor mau membangun resort, namanya Bali Turtle Island Development (BTID). Pembebasan tanah masyarakat dilaksanakan, BTID melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, dan pengerukan dan penimbunan mulai untuk menambah luasan lahan Serangan hampir 4 kali lipat. Namun, dengan adanya proyek BTID menimbulkan permasalahan bagi lingkungan dan masyarakat Pulau Serangan. Permasalahan utama merupakan kehilangan mata pencaharian untuk masyarakat akibat kerusakan lingkungan dan penimbunan yang dilakukan BTID. Akhirnya, proyek BTID terpaksa berhenti karena kesulitan dana akibat krisis moneter pada tahun 1998 dan sampai sekarang tidak ada investor baru, supaya lahan BTID ‘kosong’.
Proyek BTID terpaksa berhenti karena kondisi politik serta kesulitan dana akibat krisis moneter pada tahun 1998, dengan mencapai 60% dari rencana pengerukan dan reklamasi. Sampai sekarang, tidak ada investor baru, dan lahan BTID ‘kosong’. Namun, permasalahan lingkungan dan bagi masyarakat Serangan terus terjadi dan semakin diperparah lagi. Oleh karena itu, masyarakat Serangan membentuk Tim 18, yang anggotanya diambil dari tokoh-tokoh masyarakat untuk mewakilinya dalam mengadakan kesepakatan dengan BTID. Pada tanggal 14 Oktober 1998 kesepakatan, atau Memorandum of Understanding (MoU), dibentuk, yang mewajibkan BTID melakukan beberapa hal-hal yang akan menguntungkan penduduk Serangan. Namun, sampai sekarang hanya dua pasal yang terpenuhi karena tidak dicantumkan waktu perlakuan dan pengakhiran, dan sanksi-sanksi bagi pihak yang melanggarnya. Juga, beberapa butir dalam MoU benar-benar menempatkan masyarakat dalam posisi lemah, misalnya pasal 9, yang menyebutkan bahwa masyarakat Serangan harus mendukung proyek BTID, dan juga menjaga dan mengamankan proyek, maka akhirnya kesepakatan itu tidak menguntungkan masyarakat Serangan.
Masalah Pulau Serangan berlangsung, dan Pemerintah Daerah Bali membentuk Panitia Khusus (Pansus) evaluasi proyek BTID untuk mengetahui sejauhmana keberadaan proyek-proyek BTID di Pulau Serangan. Setelah memperoleh informasi awal dari masyarakat, pakar lingkungan, dan tokoh lainnya, DPRD Bali mendengar langsung masukan sekaligus keluhan dari masyarakat soal kelangsungan megaproyek bersangkutan.[1] Penduduk Serangan menunjukkan pendukungannya untuk kelajutan proyek. Sebenarnya mereka agak fatalistik, misalnya, dalam wawancara Bendesa Adat mengatakan bahwa “nasi yang sudah menjadi bubur tidak bisa dijadikan nasi lagi, tapi buburnya bisa dikasih gula supaya menjadi lebih enak.” Pulau Serangan sudah dikembangkan yang tidak bisa dikembalikan, tetapi bisa ‘dikasih gula’, yaitu masyarakat menunggu pemanfaatan proyek BTID. Akhirnya, Pansus mengeluarkan rekomendasi yang intinya menyetujui proyek BTID itu dilanjutkan, tertanggal 15 Mei 2001, tetapi sampai sekarang proyek BTID belum dijalankan lagi.
BTID mengadakan penelitian ke lapangan beserta konsultan lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Udayana (Unud) dari bulan April hingga Juli 1995 untuk Amdal, sesuai PP No. 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Pedoman Pelaksanaannya. Sebelum itu, konsultan dari Australia menulis laporan Feasibility Study yang menilai proyek BTID “rumit dan ambisius”, dan menguraikan pembatas yang mungkin akan terjadi yang perlu diputuskan dengan kajian lebih lanjut. Akan tetapi, dalam Andal BTID, kelihatan rekomendasi ini tidak dilakukan. Misalnya, Feasibility Study merekomendasi bahwa rencana reklamasi yang berdampak pada terumbu karang dan padang rumput laut di bagian selatan Pulau Serangan (yang disebut luar biasa di Bali karena dalam keadaan yang relatif asli) seharusnya dipindahkan supaya habitat ini tidak hilang. Namun, penimbunan masih terjadi di tempat itu, merusakkan habitat itu. Kontrak dengan konsultan ini akhirnya diputuskan, disebut karena tidak ‘ramah BTID’. Amdal Pembangunan Pulau Serangan disetujui oleh Gubernur Bali pada tahun 1995.
Pada tahun 1998 ada debat yang muncul dalam pers regional Bali, akibat tudingan tim Amdal Unud tidak profesional. Tudingan ini muncul karena kerusakan lingkungan yang terjadi akibat proyek-proyek ‘raksasa’ seperti proyek BTID, yang Amdalnya dilakukan tim Unud. Amdal BTID disebut “pemanis administrasi” saja. Dosen dari Unud membantah tudingan ini dan mengatakan bahwa yang diprotes adalah kegiatan pemrakarsa daripada hasil studi. Kegiatan pemrakarsa sebenarnya wajib dipantau oleh  instansi yang terkait, sesuai dokumen Amdal Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), dan di kasus BTID, pemerintah yang bertanggungjawab. Akan tetapi, selain kekurangan dana untuk melakukan pemantauan rutin dan mendalam, pihak pemerintah mempunyai pendapat yang bermasalah untuk pelestarian lingkungan, misalnya: “Proyeknya belum selesai, jadi kita tidak tahu apa saja yang dilanggar.”
Salah satu pelanggaran Amdal yang dampak lingkungannya sangat parah merupakan jembatan di jalan penyeberangan. Pada waktu keberhentian proyek, jembatan belum dibangun sesuai Amdal. Jalan tersebut merupakan tembok dari daratan Bali ke Pulau Serangan, dan menyebabkan abrasi pantai di beberapa tempat di sekitar kawasan proyek. Tokoh lingkungan di masyarakat banyak melobi pemerintah daerah, yang akhirnya menuntut bahwa jembatan itu dibangun, panjangnya minimal 100m, walaupun pengamat lingkungan mengusulkan bahwa jembatan itu seharusnya dibuat sepanjang 200 sampai 300m sesuai dengan lebar selat asli supaya sirkulasi arus lancar. BTID menegaskan bahwa pihaknya akan mulai membangun jembatan itu pada bulan Maret 2000, dengan panjang lebar 100 x 26,5m, akan tetapi, jembatan itu hanya diselesaikan pada pertengahan tahun 2001. Sekarang, walaupun ada jembatan, abrasi pantai masih terjadi akibat proyek BTID, mengingatkan bahwa dalam rencana Kodam pertama salah satu tujuan pembangunan adalah menyelamatkan kondisi fisik Pulau Serangan dari abrasi.
Sekarang, kebanyakan lahan Pulau Serangan ‘kosong’ – BTID menunggu investor, dan masyarakat menunggu BTID. Solusi harus ditemui supaya permasalahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang diakibatkan proyek BTID bisa dihentikan. Berbagai solusi telah diajukan, tetapi pada dasarnya pihak BTID, yang dulunya menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat Serangan, seharusnya bertanggungjawab kalau proyeknya dilanjutkan atau tidak dilanjutkan, karena bagaimanapun pihak BTID yang menyebabkan masyarakat kesusahan didalam memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat Serangan harus diperankan dulu. Sebenarnya, warga Serangan masih menginginkan proyek BTID bisa dilanjutkan pada pulaunya, dengan harapan proyek itu akan memberi keuntungan dan kesejahteraan. Solusi harus ditemui supaya Pulau Serangan, yang sudah dijadikan ‘bubur’, bisa dikasih ‘gula’ supaya kehidupan masyarakat Serangan lebih ‘enak’.


Pulau Serangan sebelum reklamasi dimulai


     Pulau Serangan setelah direklamasi

sumber gambar edyraguapo.blogspot.com
                         Chapterku.info
Daftar Pustaka : Laporan Study Lapangan; Lisa Woinarski: malang 2003
                           id.wikipedia.org/pulau serangan