KUALA, SIMPANG, BL- Usulan perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan di Aceh Tamiang yang akhir tahun lalu diajukan oleh Gubernur Aceh ke Menteri Kehutanan diperkirakan lebih kurang 15.000 hektar hutan kini menuai protes.
Namun usulan tersebut, kini dipersoalkan oleh enam NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat dan Masyarakat Aceh Tamiang yang bergabung ke dalam Forum Masyarakat dan LSM Aceh Tamiang Untuk Kelestarian Hutan Aceh, sejak Jumat (1/3) lalu melayangkan somasi kepada Gubernur Aceh untuk mencabut
Fauzi Nazir yang bertindak sebagai Juru Bicara Forum dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (6/3) mengatakan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat Aceh Tamiang.
“Sangatlah tidak wajar pemerintah mengurangi luas hutan yang tersisa di Aceh Tamiang,”ujarnya.
Menurut Fauzi, dari sekitar 200 ribu hektar lahan di Aceh Tamiang, hanya sekitar 45% yang berupa kawasan hutan negara. Sekitar 50% lahan kawasan hutan tidak lagi berupa hutan melainkan kebun-kebun para pemodal dan badan hukum yang dikuasai secara tidak sah.
Di hulu Sungai Tamiang, hutan-hutan yang akan dilepaskan ini berupa lahan-lahan yang dulu sudah susah payah dikuasai kembali oleh Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) bersama Polres Aceh Tamiang, Polda Aceh serta LSM dan Masyarakat Aceh Tamiang sejak tahun 2009 lalu.
Lahan-lahan tersebut lanjut Fauzi, adalah milik orang-orang kaya yang hampir seluruhnya bukan masyarakat Aceh Tamiang. Bahkan beberapa pengusaha ini sudah dijadikan tersangka oleh Polda Aceh maupun Polres Aceh Tamiang dan sudah ada yang putusan hakim walaupun terdakwa melakukan banding.
“Merubah fungsi hutan dengan menyerahkan lahan itu ke pengusaha sama saja membenarkan perampasan hidup masyarakat Aceh Tamiang”tandasnya.
Usulan pelepasan kawasan hutan di pesisir Tamiang menurut Forum Masyarakat dan LSM Aceh Tamiang akan menyebabkan banjir tidak terkendali. Hutan bakau berperan penting bagi pengedali banjir karena menyerap banyak air ketika musim hujan yang melimpah. Hutan bakau juga menjadi benteng alami gerusan air laut ke daratab serta menjadi sumber ekonomi penting bagi masyarakat pesisir.
Hutan bakau di hilir Tamiang saat ini sudah ditanami kelapa sawit oleh para pengusaha dan pejabat Aceh Tamiang. Fauzi menilai pemerintah bertindak aneh, membantu para perampok tanah negara dan akan membiarkan ribuan rakyat lainnya menderita dan miskin.
Lebih dari 25% (lebih dari 50.000 hektar) luas Aceh Tamiang berupa HGU, selebihnya ada ratusan orang yang menguasai tanah lebih dari 50 hektar. Wajar bila rakyat tidak memilki tanah untuk bercocok tanam.
“Kalau pemerintah punya niat untuk rakyat, seharusnya luas HGU yang sudah berakhir masa berlakunya dikuasai oleh negara dan dibagi-bagi ke rakyat kecil, bukan kembali ke HGU atau orang-orang kaya. Pemerintah bukan lagi pembela rakyat, tapi sebaliknya menjual nama rakyat untuk orang-orang kaya dan pejabat,”jelasnya.
Koalisi LSM penggiat lingkungan ini menyayangkan langkah Gubernur Aceh. Menurut mereka, gubernur Acehsebaiknya meniru negara-negara Eropa menjaga hutannya, bukan sebaliknya mengusulkan untuk membabat hutan Aceh untuk kepentingan segelintir orang-orang serakah.
Dalam somasinya, para aktivis lingkungan di Aceh meminta agar Gubernur Aceh mencabut surat usulan perubahan perubahan dan fungsi kawasan hutan yang sudah diusulkan tersebut dalam kurun waktu 7 hari setelah surat ini diterima. “Bila tidak kami akan melakukan gugatan hukum dan pengerahan massa untuk menentang usulan tersebut”tambahnya.
Somasi ini ditandatangani oleh LSM Badan Kesatuan Bangsa (BKB), Tamiang Peduli, ACTW, Yayasan Hijau Indonesia, LSM Tranparansi Aceh (TA) Aceh Tamiang, LEBAM dan beberapa masyarakat Aceh Tamiang. (Marwan Azis).
sumber
Areal hutan tersebut diusulkan untuk menjadi area penggunaan lain (APL) atau Hutan Produksi Konversi (HPK).
Namun usulan tersebut, kini dipersoalkan oleh enam NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat dan Masyarakat Aceh Tamiang yang bergabung ke dalam Forum Masyarakat dan LSM Aceh Tamiang Untuk Kelestarian Hutan Aceh, sejak Jumat (1/3) lalu melayangkan somasi kepada Gubernur Aceh untuk mencabut
Fauzi Nazir yang bertindak sebagai Juru Bicara Forum dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (6/3) mengatakan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat Aceh Tamiang.
“Sangatlah tidak wajar pemerintah mengurangi luas hutan yang tersisa di Aceh Tamiang,”ujarnya.
Menurut Fauzi, dari sekitar 200 ribu hektar lahan di Aceh Tamiang, hanya sekitar 45% yang berupa kawasan hutan negara. Sekitar 50% lahan kawasan hutan tidak lagi berupa hutan melainkan kebun-kebun para pemodal dan badan hukum yang dikuasai secara tidak sah.
Di hulu Sungai Tamiang, hutan-hutan yang akan dilepaskan ini berupa lahan-lahan yang dulu sudah susah payah dikuasai kembali oleh Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) bersama Polres Aceh Tamiang, Polda Aceh serta LSM dan Masyarakat Aceh Tamiang sejak tahun 2009 lalu.
Lahan-lahan tersebut lanjut Fauzi, adalah milik orang-orang kaya yang hampir seluruhnya bukan masyarakat Aceh Tamiang. Bahkan beberapa pengusaha ini sudah dijadikan tersangka oleh Polda Aceh maupun Polres Aceh Tamiang dan sudah ada yang putusan hakim walaupun terdakwa melakukan banding.
“Merubah fungsi hutan dengan menyerahkan lahan itu ke pengusaha sama saja membenarkan perampasan hidup masyarakat Aceh Tamiang”tandasnya.
Usulan pelepasan kawasan hutan di pesisir Tamiang menurut Forum Masyarakat dan LSM Aceh Tamiang akan menyebabkan banjir tidak terkendali. Hutan bakau berperan penting bagi pengedali banjir karena menyerap banyak air ketika musim hujan yang melimpah. Hutan bakau juga menjadi benteng alami gerusan air laut ke daratab serta menjadi sumber ekonomi penting bagi masyarakat pesisir.
Hutan bakau di hilir Tamiang saat ini sudah ditanami kelapa sawit oleh para pengusaha dan pejabat Aceh Tamiang. Fauzi menilai pemerintah bertindak aneh, membantu para perampok tanah negara dan akan membiarkan ribuan rakyat lainnya menderita dan miskin.
Lebih dari 25% (lebih dari 50.000 hektar) luas Aceh Tamiang berupa HGU, selebihnya ada ratusan orang yang menguasai tanah lebih dari 50 hektar. Wajar bila rakyat tidak memilki tanah untuk bercocok tanam.
“Kalau pemerintah punya niat untuk rakyat, seharusnya luas HGU yang sudah berakhir masa berlakunya dikuasai oleh negara dan dibagi-bagi ke rakyat kecil, bukan kembali ke HGU atau orang-orang kaya. Pemerintah bukan lagi pembela rakyat, tapi sebaliknya menjual nama rakyat untuk orang-orang kaya dan pejabat,”jelasnya.
Koalisi LSM penggiat lingkungan ini menyayangkan langkah Gubernur Aceh. Menurut mereka, gubernur Acehsebaiknya meniru negara-negara Eropa menjaga hutannya, bukan sebaliknya mengusulkan untuk membabat hutan Aceh untuk kepentingan segelintir orang-orang serakah.
Dalam somasinya, para aktivis lingkungan di Aceh meminta agar Gubernur Aceh mencabut surat usulan perubahan perubahan dan fungsi kawasan hutan yang sudah diusulkan tersebut dalam kurun waktu 7 hari setelah surat ini diterima. “Bila tidak kami akan melakukan gugatan hukum dan pengerahan massa untuk menentang usulan tersebut”tambahnya.
Somasi ini ditandatangani oleh LSM Badan Kesatuan Bangsa (BKB), Tamiang Peduli, ACTW, Yayasan Hijau Indonesia, LSM Tranparansi Aceh (TA) Aceh Tamiang, LEBAM dan beberapa masyarakat Aceh Tamiang. (Marwan Azis).
sumber